NativZen
Advertising Area

Penyedia OTT Raup Untung, Operator Telekomunikasi Merana

Layanan Over the Top (OTT) masih terus menjadi polemik hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo mau berakhir.

Advertising Area

NATIVZEN.com – Layanan Over the Top (OTT) masih terus menjadi polemik hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo mau berakhir. Sebab hingga saat ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI belum menerbitkan aturan yang jelas terkait layanan OTT tersebut.

Sejumlah pihak seperti operator telekomuniasi hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) padahal sudah mendesak pemerintah dalam hal ini Kominfo untuk membuat regulasi layanan OTT. Bahkan DPR tidak hanya mendesak Kominfo tetapi juga Kementerian BUMN.

Di sisi lain, tak sedikit masyarakat Indonesia yang semakin bergantung terhadap layanan OTT yang dikembangkan oleh pihak asing. Ketika sudah tergantung terhadap layanan OTT asing, banyak masyarakat justru mengeluh mengenai kelambatan akses internet di Indonesia.

Ketika OTT, khususnya dari negara luar menikmati keuntungan dari masyarakat Indonesia, justru operator telekomunikasi di negeri ini menderita. Hal ini lantaran mereka dipaksa untuk membangun infrastruktur digital yang cepat dan andal.

Padahal untuk membangun infrastruktur digital yang mumpuni selain tidak mudah, juga tidak murah. Belum lagi beban operator telekomunikasi yang saat ini sangat berat dengan regulatory charge yang besar, yang diminta oleh negara.

Nah! Terkait hal itu, Selular Media Network baru saja menggelar Selular Business Forum di Jakarta, (27/12). Tema yang diangkat dalam forum diskusi kali ini adalah “Urgensi Regulasi OTT Demi Mengembalikan Kesehatan Industri Seluler”.

Selain dihadiri langsung oleh Uday Rayana, CEO & Editor in Chief Selular Media Network, forum diskusi ini juga menghadirkan Kamilov Sagala, seorang pengamat telekomunikasi di Tanah Air, yang juga mantan di Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Dua narasumber lainnya yang turut meramaikan forum diskusi yang membahas permasalahan OTT di Tanah Air ini adalah Sigit Puspito Wigati Jarot, Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel dan Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute.

Dalam keterangannya, Sigit menyebutkan bahwa untuk menyehatkan industri seluler memang perlu ada regulasi untuk mengatur OTT. Saat ini terjadi ketimpangan pendapatan antara operator telekomunikasi dengan penyedia layanan OTT secara global.

“Dari data SNS Insider, OTT secara global mampu meraup US$ 295,24 miliar pada tahun 2021 dan kemungkinan akan tumbuh hingga US$ 1,951 triliun pada tahun 2030,” ujar Sigit. Selain itu, Sigit juga menjabarkan perbandingan pendapatan telekomunikasi dengan OTT.

“Pendapatan operator telekomunikasi pada 2010 bisa mencapai US$ 458 miliar dari SMS dan voice, sedangkan OTT hanya US$ 41 miliar. Kini pada 2021 terbalik, operator telekomunikasi hanya mendapat US$ 702 miliar, sedangkan OTT mencapai US$ 753 miliar,” tambah Sigit.

Sementara, Heru Sutadi mengatakan saat ini perkembangan bisnis telekomunikasi terdestrupsi oleh layanan OTT yang membuat trafik voice dan SMS menurun. Operator telekomunikasi hanya seperti penyedia pipa (dumb pipe) dengan capex dan apex yang besar.

“Saat ini kita bisa melihat bahwa operator telekomunikasi di Tanah Air hanya seperti penyedia pipa dengan capex dan apex yang besar. Sementara itu, layanan OTT berselancar di atas jaringan yang dibangun oleh opertaor telekomunikasi,” kata Heru.

Hal tersebut yang membuat Heru berpendapat bahwa harus ada sumbangsih dari penyedia layanan OTT untuk turut membantu operator telekomunikasi membangun infrastruktur digital. Caranya bisa dengan pajak digital hingga penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.

“Indonesia bisa belajar dengan sejumlah negara yang telah menerapkan Digital Services Tax (DTS) seperti Austria, Prancis, Hungaria, Italia, Polandia, Portugal, Spanyol, Turki dan Inggris, meskipun strukturalnya berbeda-beda,” sambung Heru.

Sementara, Kamilov mengatakan bahwa OTT menumpang layanan operator telekomunikasi bahkan bisa mengabaikan kedaulatan negara. “Untuk bertemu petinggi OTT, seorang Presiden perlu keluar negeri. Sedangkan kalau di operator telekomunikasi cuma sekelas menteri,” kata Kamilov.

Karena itu, Kamilov juga menegaskan bahwa pemerintah harus segera membuat regulasi terkait layanan OTT ini. Hal ini terbilang penting agar penyedia layanan OTT tersebut bisa turut mengambil beban Universal Service Obligation (USO).

“Bayangkan saja jika penyedia layanan OTT itu mampu membantu membuat infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), maka masyarakat di sana juga bisa mengakses OTT dan pendapatannya juga semakin meningkat,” tandasnya.

()
Avatar photo

Eko Lanue Ardie

co-Founder & Pimpinan Redaksi nativzen (www.nativzen.com); Jurnalis di industri teknologi dan gadget yang sudah berkecimpung sejak 2010.

Advertising Area
Advertising Area

Your Header Sidebar area is currently empty. Hurry up and add some widgets.