NATIVZEN.com – Bagi penggemar teknologi modern pasti sudah tidak asing dengan OpenAI. Ya! Perusahaan yang dipimpin oleh Sam Altman ini dikenal dengan kemajuan inovatifnya dalam teknologi AI, dan salah satu yang terus dikembangkan adalah ChatGPT.
Menariknya, OpenAI baru-baru ini kembali jadi perbincangan karena perubahan kebijakan penggunaannya. Awalnya, OpenAI secara eksplisit melarang penggunaan teknologinya untuk tujuan “militer dan peperanganâ€, namun larangan khusus ini telah dihapus.
Tentu saja, perubahan kebijakan tersebut menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran tentang potensi penerapan AI di bidang militer. Apalagi sejumlah badan militer global menunjukkan minat yang semakin besar terhadap teknologi AI.
Sarah Myers West, dari AI Now Institute, menunjukkan bahwa revisi tersebut bertepatan dengan peningkatan penggunaan AI di zona konflik, seperti Gaza. Pergeseran ini menunjukkan kemungkinan keterbukaan terhadap kolaborasi antara perusahaan teknologi dengan militer.
Tak sedikit yang menyangkal bahwa sejumlah badan militer global berlomba-lomba untuk mendekati perusahaan teknologi berbasis AI. Di sini, mereka tidak pelit untuk menawarkan insentif finansial yang terbilang besar kepada perusahaan tersebut.
Meskipun OpenAI bersikukuh bahwa teknologinya tidak boleh digunakan untuk menimbulkan bahaya atau mengembangkan senjata, tetapi tidak mencantumkan “militer dan peperangan†dalam kebijakannya mungkin membuka pintu bagi penggunaan lain terkait dengan militer.
Saat ini, OpenAI memang tidak menawarkan produk yang mampu menimbulkan bahaya fisik secara langsung. Tetapi harus dipahami bahwa sejumlah tools, seperti language models, dapat memainkan peran pendukung dalam sebuah operasi militer.
Menanggapi hal itu, juru bicara OpenAI Niko Felix menjelaskan bahwa kebijakan yang direvisi ini bertujuan untuk menetapkan prinsip-prinsip yang universal dan mudah dipahami. OpenAI menekankan prinsip-prinsip seperti “Jangan merugikan orang lain,â€.
Meskipun OpenAI jelas-jelas menentang pengembangan senjata atau menyebabkan cedera, terdapat ambiguitas seputar cakupan penggunaan militer yang lebih luas. Hal ini terutama berkaitan dalam sebuah aplikasi yang tidak berhubungan langsung dengan senjata.
Menariknya, OpenAI telah bekerja sama dengan DARPA untuk mengembangkan alat keamanan siber, dan menyoroti bahwa tidak semua asosiasi militer berbahaya. Perubahan kebijakan tampaknya memungkinkan terjadinya kolaborasi semacam itu.
Pergeseran ini menyarankan pendekatan yang berbeda, menyeimbangkan penggunaan AI yang etis dengan potensi manfaat yang dapat ditawarkannya dalam konteks keamanan. Namun, hal ini tetap menyisakan ruang perdebatan tentang batas penerapan AI di militer.
()