NATIVZEN.com – Indonesia tengah digegerkan oleh serangan ransomware yang menargetkan Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 sejak 20 Juni lalu. Serangan yang menggunakan salah satu perangkat lunak pemerasan (malware) paling berbahaya itu memicu kelumpuhan layanan publik berhari-hari.
Ditambah dengan tuntutan uang tebusan sebesar US$ 8 juta atau sekitar Rp 131 miliar yang diminta oleh peretas, krisis tersebut tentunya mendorong keprihatinan meluas terhadap keamanan data pribadi dan negara.
Saat ini, ransomware semakin menyasar kalangan pemerintahan dan akademisi, menjadi salah satu ancaman keamanan siber paling berbahaya, baik di Indonesia maupun di tingkat global. Pemerintah Indonesia sendiri telah tegas menolak membayar uang tebusan yang diminta.
Apa itu Ransomware?
Bagi kamu yang belum tahun apa itu ransomware, ini adalah varian malware berbahaya yang digunakan oleh peretas untuk mengunci akses ke data korban dan meminta uang tebusan untuk pemulihannya.
“Serangan ransomware di Indonesia tidak hanya menginfeksi komputer, tetapi juga menargetkan perangkat seluler dan IoT. Ini menunjukkan bahwa seluruh ekosistem digital kita rentan,” kata Dr. Erza Aminanto, Asisten Profesor dan Koordinator Program Magister Keamanan Siber Monash University, Indonesia.
Lebih lanjut, Dr Aminanto juga menceritakan bahwa negara-negara maju di Eropa, seperti Inggris, yang memiliki lembaga siber yang begitu kuat serta barisan akademisi ahli, tidak kebal terhadap serangan ransomware.
“Layaknya virus yang bermutasi, ransomware mengeksploitasi kemajuan teknologi seraya mencari celah kerentanan manusia dalam berkegiatan siber. Oleh karenanya, sangat penting bagi setiap negara, termasuk Indonesia, untuk memperkuat keamanan digitalnya,” ujar Dr Aminanto.
Contoh lain yang menunjukkan betapa bahayanya ransomware adalah serangan serupa di Inggris pada awal Juni 2024, yang berdampak sangat buruk hingga mengancam ratusan jiwa. Serangan ini melumpuhkan layanan kesehatan di beberapa rumah sakit dan pusat patologi.
Peretasan tersebut menyebabkan layanan donor darah terhenti selama berhari-hari. Situasi mendesak ini merupakan taktik yang digunakan oleh para peretas untuk menekan korban agar memenuhi tuntutannya.
“Indonesia juga menghadapi ancaman serupa, meskipun rincian dan kronologi awal serangan belum sepenuhnya jelas. Krisis ini mempertegas pentingnya membangun sistem keamanan siber yang kuat dan responsif untuk melawan serangan ransomware yang semakin canggih,” kata Dr Aminanto.
Bagaimana Cara Kerja Ransomware?
Dari perspektif keamanan siber, salah satu cara ransomware menyusup adalah melalui pencurian data pribadi via email (phishing email) yang tidak terlihat mencurigakan. Setelah berhasil melakukan phishing, peretas mendapat akses ke jaringan internal dan mengenkripsi data penting
Selanjutnya, peretas akan mengunci data yang menjadi targetnya dan mendesak korban untuk membayar uang tebusan. Besarnya ancaman ransomware dapat dilihat dari tingginya uang tebusan yang diminta dan dampak yang ditimbulkannya.
Selain itu, dalam konteks krisis yang dialami PDNS 2, dampak besar serangan ransomeware mencakup risiko kerugian finansial yang signifikan bagi negara, baik dalam opsi pembayaran uang tebusan atau pemulihan data dan perbaikan sistem.
“Kedua opsi tersebut harus dipertimbangkan secara kritis dan menyeluruh. Gangguan pada PDNS 2 bisa berdampak pada berbagai sektor yang bergantung padanya, termasuk layanan publik, layanan kesehatan, dan pendidikan,” ,” kata Dr Aminanto.
Lebih lanjut, Dr Aminanto juga menyebutkan bahwa serangan semacam ini akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melindungi keamanan data. Lebih buruk lagi, data yang dicuri dapat digunakan untuk serangan lebih lanjut.
Bagaimana Mencegah Serangan Ransomware?
Pelajaran apa yang bisa kita petik untuk mengantisipasi serangan ransomware? Ada beberapa strategi dapat diterapkan, antara lain:
- Semua data penting harus dicadangkan secara teratur, lalu disimpan di lokasi terpisah untuk meminimalkan kehilangan data. Cadangan data tersebut harus dienkripsi dan diuji secara rutin untuk memastikan pemulihannya berfungsi segera setelah dibutuhkan.
- Penting untuk memperkenalkan redundansi sebagai upaya mengurangi risiko kegagalan sistem secara keseluruhan. Redundansi dapat mencakup perangkat keras ganda, penyimpanan awan (cloud), atau server cadangan yang siap beroperasi jika sistem utama gagal.
- Membangun Pusat Pemulihan Data, atau data recovery center, yang dapat segera beroperasi jika sistem utama mengalami gangguan. Fasilitas ini harus memiliki infrastruktur yang setara atau lebih baik dari sistem utama demi memastikan kelancaran operasionalnya.
Adapun langkah-langkah selanjutnya mencakup upaya peningkatan kepatuhan terhadap aturan dan kode etik, serta penerapan sanksi tegas untuk memastikan semua entitas mengikuti standar keamanan yang ditetapkan.
Selain itu, penting juga untuk menggelar pelatihan berkala tentang ancaman dan metode identifikasi serangan siber kepada para petugas terkait, yang merupakan garda terdepan dalam menangani ransomware melalui phishing atau bentuk-bentuk serangan sejenis lainnya.
“Kita dapat meminimalisir dampak kerusakan yang dipicu oleh serangan ransomware melalui identifikasi aktivitas siber yang cepat dan efektif, yakni dengan menggunakan alat pantau jaringan dan sistem deteksi intrusi,” kata Dr Aminanto.
Ditambahkan oleh Dr Aminanto bahwa langkah pencegahan lainnya dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak antivirus dan anti-malware yang diperbarui pada semua perangkat endpoint, termasuk komputer, laptop, ponsel pintar, dan perangkat IoT.
“Terakhir, penting juga untuk mengenkripsi data yang dikirim dan disimpan agar informasi sensitif terlindungi dari risiko akses ilegal. Data yang dienkripsi tidak bisa dibaca oleh peretas meskipun mereka berhasil mencurinya,” ujar Dr Aminanto.
Pentingnya Memperkuat Pertahanan Siber
Menerapkan seluruh langkah keamanan di atas tidaklah mudah, karena juga diperlukan investasi besar dalam infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia. Di sisi lain, ancaman ransomeware terus berkembang, dan para peretas selalu mencari cara baru untuk menembus pertahanan.
Oleh karenanya, pendekatan proaktif, adaptif, dan kolaboratif sangatlah penting dilakukan sejak dini. Upaya tersebut juga perlu didukung oleh kolaborasi sektor swasta dan publik, dimana pemerintah harus bekerja sama dengan perusahaan teknologi dan organisasi non-pemerintah.
Hal ini untuk berbagi informasi dan sumber daya dalam menghadapi ancaman siber. Inisiatif yang dilakukan dapat mencakup pembentukan pusat tanggap nasional untuk serangan siber, program pelatihan keamanan siber, dan kampanye layanan masyarakat.
Ransomware sendiri hanyalah salah satu dari sekian banyak potensi serangan terhadap data penting suatu negara. Dalam kasus Indonesia, Dr Aminanto mengatakan pemerintah harus mempersiapkan teknologi dan sumber daya manusia yang lebih mumpuni.
“Dalam konteks ini, pemerintah harus memanfaatkan teknologi AI dan machine learning (ML) untuk meningkatkan keamanan siber. AI dan ML dapat digunakan untuk menganalisis pola lalu lintas jaringan, mendeteksi anomali, dan merespons insiden secara otomatis,” jelas Dr Aminanto.
Selain itu, Dr Aminanto menambahkan bahwa teknologi tersebut juga dapat membantu forensik siber mengidentifikasi sumber serangan dan memitigasi risiko lebih lanjut. Kini, seiring semakin luasnya pemanfaatan AI dan ML, peraturan dan kebijakan keamanan siber pun harus terus diperbarui.
“Pemerintah harus memastikan peraturan ini tidak hanya mencakup sektor publik tetapi juga sektor swasta, termasuk usaha kecil dan menengah yang sering menjadi target serangan siber. Serangan ransomware terhadap PDNS 2 bisa menjadi pelajaran,” pungkas Dr Aminanto.