NativZen
Advertising Area

Fenomena AI Slop Mengemuka, Perlunya Etika AI

Fenomena AI slop menyebabkan kualitas hilang karena kuantitasnya sangat banyak.

Advertising Area

NATIVZEN.com – Bagi kita yang hidup di era digital di mana kecerdasan buatan alias AI bukan lagi sekadar teknologi masa depan, tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Mulai dari rekomendasi konten, chatbot, sampai alat editing otomatis.

Semua itu telah membentuk cara kita berkomunikasi, bekerja, dan bahkan berpikir. Namun di balik manfaatnya yang luar biasa, penggunaan AI juga membawa pertanyaan penting: bagaimana memastikan teknologi ini dapat digunakan secara bertanggung jawab?

Pertanyaan lainnya yang timbul adalah bagaimana kita, sebagai generasi muda dan calon profesional industri kreatif, dapat memahami sekaligus menerapkan etika ketika memanfaatkan AI di media sosial?

Hal itu mengemuka dalam seminar “Etika AI di Media Sosial” yang digelar oleh Ruang Tengah Digital Network (RTDN) bersama Politeknik Tempo di Jakarta, (26/11). Hadir tiga pembicara dari bidang akademisi, media, dan industri telekomunikasi.

Ketiganya memaparkan secara komprehensif risiko, etika, serta praktik aman penggunaan AI atau yang sering juga disebut kecerdasan buata di era konten digital saat ini. Sementara itu, peserta seminar yang hadir adalah mahasiswa Politeknik Tempo.

Dosen Desain Media Politeknik Tempo, Beny Maulana menjelaskan bahwa perkembangan AI generatif sejak 2022 menghadirkan perubahan besar pada produksi konten. Berawal dari teknologi gambar seperti stable diffusion, kualitas keluaran AI kini jauh lebih realistis.

Beny pun menjelaskan bahwa teks, gambar, dan video yang dibuat oleh AI kini begitu sulit dibedakan. Kemudahan dan kecepatan juga memicu munculnya fenomena AI slop atau konten “ampas” yang dibuat masif demi mengejar trafik dan pendapatan dari media sosial.

“Fenomena AI slop menyebabkan kualitas hilang karena kuantitasnya sangat banyak. Istilah brainrot, konten rendah kualitas yang menyasar anak-anak demi trafik tinggi, juga semakin meluas,” ujar Beny di seminar yang diselenggarakan di Gedung Tempo Institute Jakarta.

Di sisi lain, penyebaran konten palsu di media sosial, diperkuat interaksi dan komentar yang didorong bot, membuat hoaks semakin mudah viral. Hal ini pun banyak ditemukan di sejumlah platform media sosial yang sangat populer.

Selain itu, Beny juga menyoroti persoalan pelanggaran hak cipta akibat pengambilan data tanpa izin oleh perusahaan AI. Beberapa studio besar seperti Square Enix, Ghibli, Warner Bros, hingga Disney pernah menuntut perusahaan AI yang memakai karya mereka tanpa persetujuan.

“Teknologi AI ini advance, memudahkan, seperti Gemini, Copilot, ChatGPT dan sebagainya. Namun, di balik itu dengan kalian menggunakan, ternyata tidak seindah yang digambarkan, banyak problem dan masalah,” jelas Beny.

Hoaks, Deepfake, dan Etika Penggunaan AI

Tak kalah menarik, Editor Cek Fakta Kompas.com, Bayu Galih Wibisono mengatakan bahwa AI dapat menjadi alat bermanfaat maupun berbahaya, layaknya pisau. Kasus deepfake tokoh publik seperti Prabowo maupun manipulasi wajah untuk penipuan dan pornografi menjadi contoh nyata.

Selain itu, meningkatnya plagiarisme akademik dengan bantuan teknologi AI alias kecerdasan buatan ini juga menjadi perhatian. “AI boleh digunakan sebagai referensi, tetapi tidak bisa menjadi rujukan utama,” ucap Bayu.

Editor Cek Fakta Kompas.com, Bayu Galih Wibisono

Dalam paparannya, Bayu mengangkat 10 Poin Etika AI UNESCO, meliputi prinsip keamanan, transparansi, akuntabilitas, perlindungan data, keberlanjutan, hingga non-diskriminasi. Namun ia menegaskan bahwa di Indonesia belum ada UU khusus tentang AI.

Regulasi yang digunakan masih bergantung pada UU ITE dan KUHP. Untuk memeriksa hoaks atau konten yang diduga buatan AI, Bayu menyarankan penggunaan beberapa alat pengecekan seperti Hive Moderation dan tools lain, disertai verifikasi sumber asli agar analisis lebih akurat.

Panduan Etika AI dari Perspektif Industri

Dari sisi industri telekomunikasi, Gamma Aditya, Manager SIMPATI Telco Product Growth and Innovation Telkomsel menyampaikan bahwa AI telah hadir dalam berbagai layanan publik, mulai dari Google Maps, e-commerce, hingga layanan pelanggan Telkomsel seperti Veronika.

Gamma juga mengingatkan bahwa teknologi AI yang saat ini berkembang begitu pesat juga memiliki dampak negatif, seperti penipuan suara, manipulasi informasi, hingga risiko terhadap privasi pengguna.

Gamma Aditya, Manager SIMPATI Telco Product Growth and Innovation Telkomsel.

Oleh karena itu, masyarakat perlu memegang prinsip etika seperti selalu memverifikasi informasi, menggunakan AI untuk hal yang baik, menjaga dan tidak menyebarkan data pribadi hingga mengutamakan transparansi dan tanggung jawab.

“Teknologi AI ini ada dan perkembangannya sangat masif dan kita harus hidup damai bersama AI. Tapi yang perlu diingat oleh rekan-rekan mahasiswa semua, jangan sampai AI mengurangi jiwa kritis kita,” tegas Gamma.

Seminar “Etika AI di Media Sosial” yang digelar oleh Ruang Tengah Digital Network (RTDN) bersama Politeknik Tempo, serta media partner nativzen.com ini juga mendapat dukungan penuh dari Telkomsel.

Avatar photo

Eko Lanue Ardie

co-Founder & Pimpinan Redaksi nativzen (www.nativzen.com); Jurnalis di industri teknologi dan gadget yang sudah berkecimpung sejak 2010.

Advertising Area
Advertising Area

Your Header Sidebar area is currently empty. Hurry up and add some widgets.