NATIVZEN.com – Kasus penipuan digital terus meningkat dan bentuknya semakin canggih, mulai dari lewat akun palsu, foto hasil edit AI, hingga panggilan video deepfake, yang semakin sulit dibedakan dari aslinya.
Menurut VIDA, penyedia layanan identitas digital dan pencegahan penipuan terdepan di Indonesia, sebagian besar aksi penipuan ini bermula dari lemahnya verifikasi identitas secara digital.
Founder & Group CEO VIDA, Niki Luhur, menjelaskan bahwa dalam tiga tahun terakhir
kualitas konten manipulatif berkembang sangat cepat seiring kemajuan teknologi
generatif.

Jika pada 2023 manipulasi visual masih mudah dikenali, pada 2024 kualitasnya meningkat menjadi high quality deepfake. Tahun ini, model seperti Stable Diffusion mampu menghasilkan gambar yang tampak seperti foto profesional.
Bahkan, seseorang hanya perlu atau membutuhkan rekaman suara selama 15 menit untuk membuat voice clone, atau satu prompt sederhana untuk membuat foto palsu yang tampak begitu nyata.
“Untuk bikin deepfake clone atau voice clone secara profesional, cuma perlu rekaman 15 menit. Dengan satu prompt, saya bisa bikin foto Anda di background mana pun, di konteks mana pun,” kata Niki dalam acara Kumparan AI for Indonesia 2025 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Niki menambahkan bahwa kasus deepfake sebagian besar berawal dari penggunaan virtual camera yang memanipulasi tampilan wajah saat proses verifikasi berlangsung. Jika sistem tidak mampu membedakan antara mana input asli dan manipulasi, identitas palsu dapat lolos.
Niki lalu mencontohkan adanya kasus tentang fraud device farm yang terhubung dengan sekitar 48 juta rekening secara global dan kasus peretasan aset kripto sekitar US$ 1,5 miliar oleh kelompok peretas yang diduga didukung negara.
“Lima tahun lalu, hal seperti ini mungkin terdengar seperti episode di serial TV. Namun, sekarang ini nyata. Fenomena ini menjadi momentum bagi kita semua untuk memperbarui standar keamanan digital,” ucap Niki.
VIDA menilai banyak modus penipuan digital bermuara pada satu titik, yakni identitas yang tidak diverifikasi dengan kuat. VIDA mengembangkan teknologi verifikasi dan autentikasi yang menempatkan identitas sebagai fondasi kepercayaan di ruang digital.
“Yang kita lihat sekarang, hampir semua masalah-masalah fraud sebenarnya muncul dari masalah identity. Untuk menjawab tantangan tersebut, VIDA telah mengembangkan teknologi verifikasi berlapis yang bekerja sejak detik pertama foto diambil hingga data tersebut divalidasi,” jelas Niki.
Ditambahkan oleh Niki bahwa VIDA memastikan proses verifikasi hanya dilakukan melalui kamera fisik dari perangkat pengguna, bukan hasil manipulasi software. Setelah foto diambil, sistem akan mencocokkan wajah dan data identitas ke database kependudukan milik Dukcapil.
Dengan kerja sama ini, wajah pengguna harus sesuai dengan data e-KTP yang tersimpan dalam sistem nasional,termasuk kecocokan NIK dan rekam identitas lainnya. VIDA juga menggunakan sistem AI dan deep learning untuk mendeteksi berbagai anomali dalam proses verifikasi.
Jika ditemukan kejanggalan, proses verifikasi otomatis dihentikan. Enkripsi berlapis diterapkan untuk menjaga data agartidak dimodifikasi ditengah proses. Sebagai penyelenggara sertifikat elektronik, VIDA diaudit langsung oleh Komdigi.
Selain itu, solusi yang dibangun oleh VIDA juga telah mematuhi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) serta standar internasional seperti WebTrust Audit. Ini untuk memastikan semua proses dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab.
Niki juga menjelaskan bahwa setiap teknologi AI yang dikembangkan VIDA selalu berorientasi pada perlindungan pengguna. Tujuannya bukan mengeksploitasi data masyarakat, melainkan memberikan keamanan.
VIDA juga menekankan perlunya kolaborasi antara pemain industri, regulator, dan media untuk meningkatkan awareness dan memperkuat upaya melawan penipuan digital yang saat ini semakin marak.
“Dengan standar verifikasi identitas yang lebih kuat dan ekosistem yang bergerak bersama, VIDA meyakini keamanan digital masyarakat dapat tetap terjaga ditengah pesatnya perkembangan teknologi generatif,” pungkas Niki.







